Jumat, 27 November 2009

Guru Profesional Jadi Markus


Gencarnya pemberitaan di media masa yang mengikuti konfilk antara Polri, KPK dan Kejaksaan serta pemutaran percakapan antara tokoh fenomenal (Anggodo Wijoyo) dengan beberapa pejabat Negara, memunculkan istilah “Markus”. Istilah Markus yang sedang popular saat ini adalah “Makelar Kasus/Mafia Peradilan” dalam ranah hukum, namun dalam dunia pendidikan mempunyai kepanjangan “Makelar Buku Sekolah”. Baik ranah hukum maupun ranah pendidikan, istilah Markus mempunyai makna negatif.


Berdasarkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) Tahun 2008, Bab V, Pasal 34 ayat 1 bahwa “ Pemerintah dan pemerintah daerah menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standard pelayanan minimal untuk mencapai standard nasional pendidikan”.

Selain itu berdasarkan Standard Pengelolaan Pendidikan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan menengah, Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007, bagian B, Nomor 9-j tentang Kode etik guru bahwa “guru dan tenaga kependidikan, secara perseorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, seragam/bahan pakaian sekolah/madarasah, dan/atau perangkat sekolah lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung kepada peserta didik”.

Markus (Makelar Buku Sekolah)
Disalah satu SMP Negeri di Kabupaten Klaten ada salah satu oknum guru professional yang selama ini menjadi ketua penjualan buku. Buku yang mereka jual belikan adalah buku LKS (Lembar Kerja Siswa). Setiap tahun pelajaran baru, selalu ada seles buku dari berbagai penerbit yang datang kesekolah menawarkan buku LKS. Buku diterima atau tidak, yang menentukan oknum guru professional tersebut. Dengan demikian, oknum guru tersebut dipastikan akan mendapatkan royalti yang cukup besar dari pihak penerbit.

Proses sertifikasi guru tidak bisa memberikan gambaran baiknya kualitas guru yang bersangkutan. Mereka yang mengantongi sertifikat tidak berarti mereka memiliki kualitas lebih baik dibanding yang belum. Karena mereka yang dinilai adalah dokumen portofolio. Dokumen hanya sekedar untuk memenuhi jumlah nilai standar minimal yang dibutuhkan. Hal ini, menjadikan guru-guru giat mencari sertifikat dan lembaga pelatihan berlomba-lomba mengadakan pelatihan dengan kemudahan-kemudahan dan waktu yang sangat singkat untuk mendapatkan sertifikat.

Menurut Ketua Dewan Pendidikan Kota Surakarta (DPKS) Drs. Ichwan Dardin bahwa “masih banyak guru bersertifikat di Solo dengan kualitas kinerja rendah. Dari 2.500-an guru yang telah lulus uji sertifikasi itu, dia memperkirakan 15 persen atau 400-an diantaranya memiliki kinerja yang tidak sesuai harapan”. (Suara Merdeka, 10 Nopember 2009).

Guru yang telah lulus sertifikasi semestinya bisa meningkatkan kinerjanya dan memberikan tauladan yang terbaik bagi guru-guru yang balum lulus sertfifikasi. Markus bagi dunia pendidikan adalah tindakan yang naif, apalagi seorang guru profesiaonal dengan tunjangan kesejahteraan yang cukup melimpah. Tak sepantasnya mencari tambahan penghasilan dengan menjadi makelar buku sekolah. Memang berjualan buku di sekolah pasti laku, tanpa ditawar dan selalu mandatangkan penghasilan tambahan.

Tetapi dengan alasan apapun, seorang guru profesional harus bisa memberikan tauladan, tidak hanya kepada siswanya tetapi juga kepada semua orang. Dimana seorang guru tinggal di kampungnya, selalu menjadi rujukan segala masalah yang timbul di kampungnya. Masyarakat memandang guru adalah pekerjaan yang paling mulia. Tugas berat untuk mencerdaskan bangsa dan ujung penentu pembentukan sikap bangsa Indonesia.

Kegiatan sambilan oknum guru menjadi makelar buku sekolah sudah menjadi budaya di dunia pendidikan Indonesia. Terbukti setiap tahun pelajaran baru banyak seles buku yang keluar masuk komplek sekolah untuk menjajakan buku-buku sekolah terutama buku LKS. Padahal pemerintah telah menggelontorkan dana BOS buku yang tidak sedikit, disamping itu pemerintah telah menyediakan E-Book yang bisa diakses lewat internet secara gratis.

Ironis, guru professional melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak menunjukan gambaran seorang guru professional, bahkan melanggar UU BHP dan Permendiknas Nomor 19 Tahun 2009. Dengan demikian berarti proses sertifikasi pada oknum guru tersebut tidak baik.

Penulis Asim Sulistyo, S.Pd.
Pemerhati Pendidikan
Guru SMP Negeri 3 Bayat, Klaten
Tinggal di Krakitan, Bayat, Klaten

0 komentar:

Posting Komentar

Komentarlah Sebagai Tanda Persahabatan...

 

Buku Murah


Masukkan Code ini K1-BE118B-2
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

Pasang Link Aku

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Pengikut

KampungBlog.com Kumpulan Blog
Indonesia